Kalau Sudah “Ditusuk”, Tolong Dihabiskan
Seiring zaman semakin kuat kehendak praktis orang-orang
dalam merayakan lebaran. Mulai dari cara bersilaturahmi dan meminta maaf dengan
mengirim pesan lewat aplikasi smartphone hingga menyiapkan suguhan makanan atau
minuman dalam kemasan.
Pergeseran selera semacam itu sudah lama terjadi dan tak
bisa dihindari. Kemudahan-kemudahan yang dilahirkan oleh kemajuan zaman bertemu
dengan keinginan kita untuk membuat lebaran menjadi “lebih sederhana” dan
mengurangi kerepotan dalam persiapannya. Maka, kini semakin lumrah kita dapati
banyak hal yang “serba instan” saat perayaan lebaran.
Di keluarga kami kebiasaan membuat kue dan jajanan untuk
lebaran sudah lama ditinggalkan. Ketupat atau lontong tidak lagi dibuat di
dapur sendiri. Cukup memesannya dari pedagang pembuat ketupat dan lontong siap
santap yang bersedia menghantar ke rumah sehari menjelang lebaran.
Hidangan ayam goreng juga didatangkan dari warung ayam
goreng langganan yang selalu siap memenuhi permintaan sampai hari raya tiba.
Dalam hal suguhan minuman juga tak jauh beda. Sejak beberapa
tahun terakhir di rumah tersedia beberapa kardus minuman dalam kemasan gelas
plastik. Jenisnya tidak hanya air mineral, tapi juga minuman teh.
Sudah semakin jarang terlihat teko-teko besar berisi air
sirup dan teh yang dulu serng disiapkan untuk menjamu tamu. Saat tamu berdatangan
minuman dari teko besar itu dituang sedikit demi sedikit ke dalam gelas-gelas.
Sekarang pekerjaan demikian telah digantikan oleh
minuman-minuman kemasan “siap tusuk”. Banyaknya relasi keluarga membuat tamu
yang berkunjung ke rumah saat lebaran juga tidak sedikit dan berlangsung selama
berhari-hari.
Masih ditambah tetangga, saudara maupun kerabat. Bahkan,
lebaran tahun ini saudara dari Probolinggo, Malang, Lampung, serta Samarinda
berkumpul dan menginap semalam di rumah. Maka demi kepraktisan dan mengurangi
kerepotan di dapur, minuman kemasan “siap tusuk” menjadi penting keberadaannya.
Kebutuhan akan minuman dalam kemasan ini memang bukan hal
baru. Sejak lama minuman dalam kemasan telah menggeser cara menyuguhkan minuman
dengan menuangkannya dalam gelas. Pada acara-acara di kampung seperti hajatan
dan pengajian pun kesibukan menuang minuman ke dalam gelas sudah semakin jarang
dilakukan.
Namun, keberadaan minuman dalam kemasan “siap tusuk” menjadi
semakin dilematis saat perayaan besar seperti lebaran. Di satu sisi
kepraktisannya bisa meringankan tugas di dapur. Akan tetapi di sisi lain
perlakuan kita terhadap minuman kemasan menimbulkan persoalan yang tidak
sepele.
Kita tahu bahwa saat lebaran banyak masyarakat menjalankan
tradisi silaturami dengan berkunjung atau saling mengunjungi antar tetangga dan
saudara. Banyak di antara kunjungan itu dilangsungkan hanya sebentar.
Barangkali hanya lima menit sebelum kemudian berpindah mengunjungi rumah
berikutnya.
Dalam kunjungan singkat dari satu rumah ke rumah berikutnya
seringkali kita tidak sempat atau malah tidak ingin menghabiskan minuman dalam
kemasan yang telah “ditusuk”. Kita hanya meminumnya sebagai “basa-basi” untuk
sekadar menghargai tuan rumah yang telah menyuguhkannya. Sisa minuman itu
kemudian ditinggalkan begitu saja.
Di ruang tamu dan teras saya sering menjumpai beberapa
minuman dalam kemasan gelas plastik yang masih tersisa isinya. Ada yang tinggal
separuh dan ada yang hanya berkurang sedikit saja.
Sisa minuman dalam kemasan yang tidak habis itu cukup
mengusik perasaan. Air di dalamnya tidak mungkin disuguhkan ulang karena
sifatnya sudah “bekas pakai”. Namun, di sisi lain jika dikumpulkan jumlahnya
tidak sedikit. Begitu juga dengan gelas-gelas plastiknya yang kemungkinan akan
menambah tumpukan sampah.
Jika menjumpai kondisi semacam itu, saya sering menggunakan
air yang tersisa untuk menyiram tanaman di halaman. Akan tetapi cara itu tidak
bisa dilakukan terus-menerus.
Rasanya perlu ada semacam cara dan himbauan untuk mengurangi
potensi berlimpahnya sisa minuman dalam kemasan, terutama saat musim
silaturahmi lebaran.
Memang sekarang di pasaran tersedia minuman dalam kemasan
dengan volume lebih kecil yang mungkin disesuaikan dengan “kebutuhan rata-rata”
tamu di Indonesia. Tapi sepanjang pengamatan saya hal itu belum menjadi solusi.
Pokok permasalahannya ada pada kebiasaan masyarakat dalam
memperlakukan minuman dalam kemasan, terutama yang berbentuk gelas plastik.
Cara masyarakat dalam mengkonsumsi minuman dalam kemasan berdampak pada
menumpuknya sisa air minum dalam kemasan.
Oleh karena itu, saat bertamu untuk bersilaturahmi sebaiknya
tidak usah mengambil minuman dalam kemasan jika memang tidak haus. Di saat haus
dan ingin minum, pastikan bahwa setelah menusuk gelas plastiknya kita akan
benar-benar menghabiskan isinya.
Saat hendak pulang dan minuman kita masih tersisa, jangan
meninggalkannya sebagai sampah di rumah orang. Bawalah minuman itu dan kita
bisa menjadikannya “bekal” saat bertamu di rumah berikutnya. Dengan demikian
kita tidak perlu “menusuk” minuman kemasan yang baru lagi.
Bayangkan berapa banyak sisa air minum dalam kemasan yang
ditinggalkan dan terbuang jika di satu rumah kita tidak menghabiskannya dan di
rumah-rumah berikutnya kita mengulangi hal serupa. Apalagi jika ada banyak anak
kecil yang sering menjadikan minuman dalam kemasan sebagai “mainan” setelah
hanya mencicipinya sedikit.
Sementara bagi sang pemilik rumah, mungkin sudah saatnya
untuk mulai menganjurkan kepada para tamunya untuk membawa pulang minuman dalam
kemasan yang belum dihabiskan.
Memang cara ini perlu semacam keberanian mengingat adat dan
sifat masyarakat Indonesia yang sangat menghormati tamu sehingga tak ingin
membuat tamu tersinggung.
Di keluarga kami paling-paling anjuran seperti itu ditujukan
kepada saudara atau tetangga dekat di mana kami tidak merasa sungkan lagi.
Sedangkan kepada para tamu lainnya, kami hanya berharap dalam hati: “Kalau
sudah ‘ditusuk’, tolong dihabiskan!”
Sumber:
kompasiana.com
loading...
loading...